Beranda | Artikel
Kenapa Mesti Ujub?
Senin, 27 Desember 2010

Betapa banyak diantara kita yang berusaha untuk berlari kencang menjauhi riyaa’ karena takut amalan kita hancur lebur terkena penyakit riya. Akan tetapi pada waktu yang bersamaan jiwa kita terulurkan dalam dekapan ujub…, bangga dengan amalan yang telah kita lakukan.., bangga dengan ilmu yang telah kita miliki…, bangga dengan keberhasilan dakwah kita.., bangga dengan kalimat-kalimat indah yang kita rangkai…, dst…??!!

Bukankah ujub juga menggugurkan amalan sebagaimana riyaa’..??

Bukankah ujub juga menyebabkan pelakunya terjerumus dalam neraka jahannam sebagaimana riyaa’…?

Bukankah ujub juga merupakan salah satu bentuk syirik kecil sebagaimana riya’…??

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وَكَثِيرًا مَا يَقْرِنُ النَّاسُ بَيْنَ الرِّيَاءِ وَالْعُجْبِ فَالرِّيَاءُ مِنْ بَابِ الْإِشْرَاكِ بِالْخَلْقِ وَالْعُجْبُ مِنْ بَابِ الْإِشْرَاكِ بِالنَّفْسِ وَهَذَا حَالُ الْمُسْتَكْبِرِ فَالْمُرَائِي لَا يُحَقِّقُ قَوْلَهُ : { إيَّاكَ نَعْبُدُ } وَالْمُعْجَبُ لَا يُحَقِّقُ قَوْلَهُ : { وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } فَمَنْ حَقَّقَ قَوْلَهُ : { إيَّاكَ نَعْبُدُ } خَرَجَ عَنْ الرِّيَاءِ وَمَنْ حَقَّقَ قَوْلَهُ { وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } خَرَجَ عَنْ الْإِعْجَابِ وَفِي الْحَدِيثِ الْمَعْرُوفِ : { ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ }

“Dan sering orang-orang menggandengkan antara riyaa’ dan ujub. Riyaa termasuk bentuk kesyirikan dengan orang lain (yaitu mempertujukan ibadah kepada orang lain-pen) adapun ujub termasuk bentuk syirik kepada diri sendiri (yaitu merasa dirinyalah atau kehebatannyalah yang membuat ia bisa berkarya-pen). Ini merupkan kondisi orang yang sombong. Orang yang riyaa’ tidak merealisasikan firman Allah إيَّاكَ نَعْبُدُ “Hanya kepadaMulah kami beribadah”, dan orang yang ujub tidaklah merealisasikan firman Allah وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ “Dan hanya kepadaMulah kami memohon pertolongan”. Barangsiapa yang merealisasikan firman Allah إيَّاكَ نَعْبُدُ maka ia akan keluar lepas dari riyaa’, dan barangsiapa yang merealisasikan firman Allah  وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ maka ia akan keluar terlepas dari ujub” (Majmuu’ Al-Fataawaa 10/277).

Rasulullah bersabda :

ثَلاَثُ مُهْلِكَاتٍ : شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

“Tiga perkara yang membinasakan, rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikui dan ujubnya seseorang terhadap dirinya sendiri”
(HR at-Thobroni dalam Al-Awshoth no 5452 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam as-shahihah no 1802)

Ibnul Qoyyim rahimahullah menukilkan perkataan seorang salaf, “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar melakukan sebuah dosa, dan dengan dosa tersebut menyebabkan ia masuk surga. Dan seorang hamba benar-benar melakukan sebuah kebaikan yang menyebabkannya masuk neraka. Ia melakukan dosa dan dia senantiasa meletakkan dosa yang ia lakukan tersebut di hadapan kedua matanya, senantiasa merasa takut, khawatir, senantiasa menangis dan menyesal, senantiasa malu kepada Robb-Nya, menunudukan kepalanya dihadapan Robbnya dengan hati yang luluh. Maka jadilah dosa tersebut sebab yang mendatangkan kebahagiaan dan keberuntungannya. Hingga dosa tersebut lebih bermanfaat baginya daripada banyak ketaatan…

Dan seorang hamba benar-benar melakukan kebaikan yang menjadikannya senantiasa merasa telah berbuat baik kepada Robbnya dan menjadi takabbur dengan kebaikan tersebut, memandang tinggi dirinya dan ujub terhadap dirinya serta membanggakannya dan berkata : Aku telah beramal ini, aku telah berbuat itu. Maka hal itu mewariskan sifat ujub dan kibr(takabur) pada dirinya serta sifat bangga dan sombong yang merupakan sebab kebinasaannya…” (Al-Wabil As-Shoyyib 9-10)

Seorang penyair berkata :

والعُجْبَ فَاحْذَرْهُ إِنَّ الْعُجْبَ مُجْتَرِفٌ    أَعْمَالَ صَاحبِهِ فِي سَيْلِهِ الْعَرِمِ

Jauhilah penyakit ujub, sesungguhnya penyakit ujub akan menggeret amalan pelakunya ke dalam aliran deras arusnya

Lantas kenapa kita begitu waspada terhadap riyaa namun melalaikan penyakit ujub…?

Sesungguhnya racun ujub akan mengantarkan pelakunya kepada penyakit-penyakit kronis lainnya, diantaranya :

–         Lupa untuk bersyukur kepada Allah, bahkan malah mensyukuri diri sendiri, seakan-akan amalan yang telah dia lakukan adalah karena kehebatannya

–         Lenyap darinya sifat tunduk dan merendah dihadapan Allah yang telah menganugrahkan segala kelebihan dan kenikmatan kepadanya

–         Terlebih jelas lagi lenyap sikap tawadhu’ dihadapan manusia

–         Bersikap sombong (merasa tinggi) dan merendahkan orang lain, tidak mau mengakui kelebihan yang dimiliki oleh orang lain. Jiwanya senantiasa mengajaknya untuk menyatakan bahwasanya dialah yang terbaik, dan apa yang telah diamalkan oleh orang lain merupakan perkara yang biasa yang tidak patut untuk dipuji. Berbeda dengan amalan dan karya yang telah ia lakukan maka patut untuk diacungkan jempol.

Kalimat indah yang pernah diucapkan oleh seorang ulama :

“Orang yang ujub merasa bahwa dirinya paling tinggi dihadapan manusia yang lain… bahkan merasa dirinya lebih tinggi di sisi Allah.., namun pada hakikatnya dialah orang yang paling rendah dan hina di sisi Allah”.

Kenapa Mesti Ujub?

Sebelum kita terlena dengan ujub yang menggerogoti hati kita maka hendaknya kita renungkan tentang diri kita. Kenapa kita ujub..??, bukankah kita ujub karena amalan kita serta hasil karya yang banyak dan hebat…??. Jika perkaranya demikian maka hendaknya renungkanlah perkara-perkara berikut ini :

Pertama : Sudah yakinkah amalan-amalan kita tersebut dibangun di atas keikhlasan kepada Allah??

Ikhlas merupakan perkara yang sangat mulia, yang menjadikan pelakunya menjadi sangat tinggi dan mulia di sisi Allah. Orang yang ikhlas hatinya hanya sibuk mengaharapkan keridhoan Allah dan tidak peduli dengan komentar dan penilaian manusia yang tidak memberi kemanfaatan dan tidak memudhorotkan. Yang paling penting baginya adalah penilaian Allah terhadap amalannya.

Orang yang ikhlas adalah orang yang amalannya tatkala bersendirian lebih banyak daripda amalannya tatkala dilihat oleh orang lain.

Kedua : Bukankah banyak hal yang bisa menggugurkan amalan-amalan kita tersebut??

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata “Penggugur dan perusak amalan sangatlah banyak.

وَلَيْسَ الشَّأْنُ فِي الْعَمَلِ إِنَّمَا الشَّأْنُ فِي حِفْظِ الْعَمَلِ مِمَّا يُفْسدُهُ وَيُحْبِطُهُ

Dan yang penting adalah bagaimana menjaga amal agar tidak rusak dan gugur bukan yang penting adalah beramalnya.

Riyaa’ –meskipun sekecil apapun- merupakan penggugur amal, dan bentuk-bentuknya sangatlah banyak.  Demikian juga amalan yang tidak dibangun diatas ittibaa’ sunnah juga merupakan penggugur amalan. Sikap al-mann dalam hati terhadap Allah (yaitu merasa telah berbuat baik kepada Allah dengan mengungkit-ngungkit dan menyebut-nyebut kebaikan tersebut -pen) juga menghancurkan amalan. Demikian juga sikap al-mann (yaitu mengungkit-ngungkitnya) dalam sedekah, berbuat kebaikan, dan bersilaturahmi juga membatalkan amalan, sebagaimana firman Allah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأذَى 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) (QS Al-Baqoroh : 264)

Dan mayoritas manusia tidak mengetahui tentang hal-hal buruk yang bisa menggugurkan amalan-amalan kebajikan. Allah telah berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari (QS Al-Hujuroot : 2)

Maka (dalam ayat ini-pen) Allah telah mengingatkan kaum mukminin agar amalan mereka tidak gugur karena mereka mengeraskan suara mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana mereka mengeraskan suara diantara mereka. Hal ini bukanlah kemurtadan akan tetapi merupakan kemaksiatan yang menggugurkan amalan dan pelakunya tidak sadar. Maka bagaimana lagi dengan orang yang mendahulukan perkataan seseroang di atas perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, petunjuknya, dan jalannya??, bukankah amalannya telah gugur dan dia dalam keadaan tidak sadar??!!

Diantara hal yang menggugurkan amalan adalah sebagaimana sabda Nabi

مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْر فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ

“Barangsiapa yang meninggalkan sholat ashar maka telah gugur amalannya” (HR Al-Bukhari no 553)

Dan termasuk dalam hal ini perkataan Aisyah –semoga Allah meridhoinya dan meridhoi ayahnya- kepada Zaid bin Arqom rahdiallahu ‘anhu tatkala melakukan transaksi dengan sistem ‘iinah (riba)

إِنَّهُ قَدْ أَبْطَلَ جِهَادَهُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ إِلاَّ أَنْ يَتُوْبَ

“Sesungguhnya ia (Zaid) telah menggugurkan (pahala) jihadnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali jika ia bertaubat”

Transaksi dengan system ‘iinah bukanlah kemurtadan, paling banter ia merupakan kemaksiatan.

Oleh karenanya mengetahui perkara-perkara yang bisa membatalkan amal tatkala amalan sedang dikerjakan dan demikian juga hal-hal yang bisa membatalkan amal setelah dikerjakannya amal merupakan perkara yang sangat penting untuk diketahui oleh seorang hamba dan diwaspadai serta untuk mengecek dirinya” (Al-Wabil As-Shoyyib 21-22)

Ketiga : Bukankah penilaian Allah yang paling utama adalah tentang hati dan keimanan seseorang?, bukan hanya sekedar amalan yang dzohir??

Betapa banyak orang yang dzohirnya kurang amalannya dan seakan-akan mata kita merendahkannya, namun ternyata ia sangat tinggi di sisi Allah. Sebagai contoh nyata adalah Uwais Al-Qoroni rahimahullah (lihat https://www.firanda.com/index.php/artikel/7-adab-a-akhlaq/17-tabiin-terbaik-uwais-al-qoroni)

Keempat : Betapa banyak dosa yang kita lakukan tanpa kita sadari, dan betapa banyak dosa yang kita lakukan dan kita sadari namun kita melupakannya??

Betapa sering kita melupakan dosa-dosa yang kita lakukan.., bukankah terlalu banyak dosa yang dilakukan oleh kedua mata kita..??, dosa yang dilakukan oleh kedua telinga kita..??, dosa-dosa yang dilakukan oleh lisan kita..??, dosa-dosa yang dilakukan oleh hati kita…??

Sebagai contoh, coba sekarang kita berusaha untuk mengingat kembali dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh lisan kita..??, apakah kita masih ingat siapa saja yang pernah kita ghibahi..??, siapa saja yang pernah kita sakiti hatinya dengan perkataan kita…??. Tentu kebanyakannya telah kita lupakan.

Belum lagi dosa-dosa yang pernah kita lakukan dengan hati kita..??

Bukankah takabbur, hasad, berburuk sangka juga merupakan dosa…??

Jika perkaranya demikian…bahwasanya tidak satu amalanpun yang kita yakini kita lakukan ikhlas karena Allah…dan tidak satu amalanpun yang ikhlas kita lakukan lantas kita yakin pasti diterima oleh Allah karena selamat dari hal-hal yang merusaknya…, maka apakah yang bisa kita banggakan untuk bisa ujub di hadapan Allah dan merasa lebih baik dari orang lain…???.

 

Kota Nabi, 21 Muharram 1432 / 27 Desember 2010

Firanda Andirja

www.firanda.com

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/226-kenapa-mesti-ujub.html